e martë, 5 qershor 2007

Kerja yang Membahagiakan

Pagi itu, Selasa (15/05), dalam perjalanan taksi dari tempat tinggal saya di BSD City-Serpong menuju Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, saya menemukan pelajaran berharga. Jika prestasi dan kesuksesan dapat memberikan kesenangan, itu sudah biasa. Tetapi, betapapun posisi dan pencapaian yang diperoleh dari bekerja juga sering tidak sejalan dengan "pencapaian kebahagian".

Kehidupan Jakarta yang menjanjikan sejuta mimpi indah, di sisi lain juga melahirkan kenyataan bagaimana kerasnya hidup di kota multi etnik ini. Namun hal itu bukan halangan bagi pria satu ini.

Namanya Ismail Latif. Umurnya sekitar 40 tahun. Pria asal Garut, Jawa Barat, ini menikahi seorang wanita satu kampung halaman. Memiliki dua anak. Tinggal di kawasan Jelupang, Serpong, Tangerang.

Berlatar pendidikan setingkat SMA ia terima dengan lapang pekerjaan sebagai vallet parking di sebuah klub malam. Ia jalani pekerjaan itu sepenuh hati. Mengisi malam demi malam dengan memarkirkan mobil para tamu.

Sejak 1994 ia telah berpindah tempat kerja dari satu klub ke klub malam lain. Mulai dari M Club di Blok M Plaza hingga yang terakhir, sebuah klub malam di Kuningan, Jakarta.

Ketekunan dan kejujurannya dalam bekerja menjadikan Ismail disukai oleh bos. Maka, naiklah jabatanya sebagai bartender.Ia tidak lagi berada di halaman parkir, tetapi masuk di dalam. Tentu saja ia kemudian memperoleh pelatihan sebagai bartender. Rupanya, ia tipe pria yang mampu belajar cepat dan disukai para tamu.

Seiring dengan posisi barunya, penghasilan Ismail melonjak. Selain gaji bulanan yang jauh lebih tinggi dari petugas parkir, juga pemasukan lain-lain seperti tips dan uang terima kasih lainnya. Dari semua itu, jika ditotal rata-rata Ismail dapat membawa pulang Rp 4 juta setiap bulannya. Tapi di sinilah awal masalah dimulai.

Kehidupan keluarga yang tadinya harmonis mulai terganggu, meskipun tidak hancur bubar. Berbagai godaan menantang di depan mata. Alhasil, penghasilannya yang menurut level ekonomi keluarganya sudah tinggi itu, malah hilang tak berbekas. Ismail telah tenggelam dalam nikmatnya kesenangan dunia malam. Ya uang, ya kesenangan. Hingga suatu masa, diam-diam jiwanya merasa tidak bahagia dan menderita.

Saya mulai berfikir untuk apa saya bekerja. Saya pulang menjelang pagi dan tidak pernah tahu kapan anak saya berangkat sekolah. Dan suatu ketika, saat saya sedang siap-siap berangkat bekerja di sore itu, anak saya sedang belajar mengaji. Hati saya hancur..!", kenangnya.

Singkat kata Ismail memutuskan berhenti sebagai "Pekerja Tetap". Tepatnya di tahun 2003.
"Saya merasa terlalu lama untuk bisa sadar. Banyak uang setan yang selama ini saya terima dari tempat kerja itu. Tidak berkah. Hasil kerja saya tidak menghasilkan apa-apa buat keluarga saya", ia menarik napas dan terdiam sesaat.

"Tapi saya menikmati pekerjaan saya bawa taksi ini Pak. Meskipun tidak tetap tapi saya menyukainya," lanjutnya.

Ismail kini memang bekerja sebagai sopir taksi berlabel Mitra18. Baru satu setengah bulan saja dia mulai pekerjaan itu sejak 31 Maret 2007.

"Lalu setelah keluar dari pekerjaan di tahun 2003 itu kerja apa Pak?" Ia membuka warung mie ayam dan minuman es kelapa.

Dari situlah kehidupan keluarga Ismail terus berjalan. "Meski tidak sebesar yang saya peroleh dulu, dari usaha ini saya bisa membayar cicilan kontrakan dan lain-lainnya," ujarnya sumringah. Warung mie ayamnya sudah bisa ditangani sendiri oleh istrinya. Maka, menjadi sopir taksi itu adalah salah satu kegiatan baru yang ia lakoni.

Setelah empat tahun usaha mie ayam yang dikerjakan bersama istrinya itu, Ismail berpikir untuk mengembangkan usahanya di tempat baru. Tapi masih terbentur modal yang masih belum cukup. Tapi dia yakin usahanya ini tetap akan berjalan dan terus ia tekuni.

Nuk ka komente: