e martë, 5 qershor 2007

Life Begins at Sixty

M. Sjohirin, Direktur PT Plaza Indonesia Tbk.

Umur 60 tahun, bagi banyak orang boleh dikata masa ambang akhir. Tapi tidak bagi sosok satu ini. Berperawakan tinggi-tegap, tenang, namun humoris. Penyayang keluarga yang beristrikan Nany serta memiliki seorang putri Miranda Renasari dan seorang putra bernama Adhitya Lesamana ini, tipe profesional yang gemar berorganisasi. Dari situlah barangkali bakat kepemimpinannya terasah. Berikut ini adalah refleksi pria kelahiran sebuah desa yang terletak di perbuktitan sisi barat Sumatera Selatan, Palembang ini. M Sjohirin membagi refleksinya untuk Anda.

Tanggal 7 Januari 2006, usiaku genap 60 tahun. Sebagian besar hidupku aku gunakan untuk berjuang memperbaiki nasib. Kalaupun aku berhasil sampai sekarang hal itu tiada lain karena Tuhan sangat sayang kepadaku.

Selain doa dan bimbingan kedua orang tua dan keluargaku, dalam perjalananku selama 60 tahun, banyak sekali aku dipertemukan dengan orang-orang baik dan bijak. Orang-orang yang memberikan pertolongan ketika aku hampir putus asa dan orang-orang yang membrikan aku jalan mendaki lebih tinggi.

Dalam perjalanan yang panjang itu yang dapat aku lakukn hanyalah bekerja keras sabil terus belajar dan memperbanyak teman. Ketika aku mau merantau ke Jawa, ayah dan kakekku memberikan pesan agar dalam bergaul aku harus selelu manghargai orang laindan pandai-pandai menempatkan diri.

Uwak Bainal, kakak dari ibu, teman mencari ikan di sungai dan guru kehidupanku semasa kecil hanya berpesan :"Kalau sekolah patuhi guru dan kalau bekerja patuhi atasan". Pesan-pesan sederhana seperti itulah yang menuntunku dalam berkarir dan menjalin tali silaturahmi di sekolah, di kantor dan di tengah masyarakat.

Setelah bertahun-tahun berlari di jalan yang penuh liku dan rintangan, capek memang. Tetapi aku tidak boleh berhenti. Semakin jauh aku melangkah semakin aku menyadari banyaknya kekuranganku dan banyaknya kelebihan orang lain. Kecuali untuk istri, anak dan kerabat dekatku, aku belum ada artinya buat orang lain. Oleh karena itu aku harus terus bekerja dan belajar.

Cita-citaku untuk mengabdi kepada masyarakat dan negara melelui jalur politik kelihatannya sulit untuk dicapai. Satu-satunya pengabdian yang mungkin dapat aku gunakan kalau nanti aku pensiun dari Plaza Indonesia adalah jalur pendidikan. Selain pernah menjadi guru, aku telah mulai terlibat dengan dunia pendidikan sebagai Ketua Umum Yayasan Untukmu Guru. Sebuah yayasan yang disponsori Plaza Indonesia, Metro TV, Media Indonesia, RCTI berserta pimpinan-pimpinannya.

Itulah sebabnya di usiaku yang ke 60 ini, setelah jam kantor, aku mulai kuliah lagi mengambil program S2 di bidang politik Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Harapanku, kelak aku akan dapat menyumbangkan pikiranku perkembangan dunia politik Indonesia dan dapat mengajar agar kader-kader bangsa berpolitik dengan baik untuk kemajuan negaranya.

Di usia ke 60 ini irama kehidupanku sehari-hari hampir sama dengan masa ketika aku mulai kuliah sambil bekerja di Apotik Kimia Farma 34 tahun yang lalau. Umur boleh tua tetapi semangat harus tetap tinggi, "Life Begins at 60".
Baca lagi...

Kerja yang Membahagiakan

Pagi itu, Selasa (15/05), dalam perjalanan taksi dari tempat tinggal saya di BSD City-Serpong menuju Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, saya menemukan pelajaran berharga. Jika prestasi dan kesuksesan dapat memberikan kesenangan, itu sudah biasa. Tetapi, betapapun posisi dan pencapaian yang diperoleh dari bekerja juga sering tidak sejalan dengan "pencapaian kebahagian".

Kehidupan Jakarta yang menjanjikan sejuta mimpi indah, di sisi lain juga melahirkan kenyataan bagaimana kerasnya hidup di kota multi etnik ini. Namun hal itu bukan halangan bagi pria satu ini.

Namanya Ismail Latif. Umurnya sekitar 40 tahun. Pria asal Garut, Jawa Barat, ini menikahi seorang wanita satu kampung halaman. Memiliki dua anak. Tinggal di kawasan Jelupang, Serpong, Tangerang.

Berlatar pendidikan setingkat SMA ia terima dengan lapang pekerjaan sebagai vallet parking di sebuah klub malam. Ia jalani pekerjaan itu sepenuh hati. Mengisi malam demi malam dengan memarkirkan mobil para tamu.

Sejak 1994 ia telah berpindah tempat kerja dari satu klub ke klub malam lain. Mulai dari M Club di Blok M Plaza hingga yang terakhir, sebuah klub malam di Kuningan, Jakarta.

Ketekunan dan kejujurannya dalam bekerja menjadikan Ismail disukai oleh bos. Maka, naiklah jabatanya sebagai bartender.Ia tidak lagi berada di halaman parkir, tetapi masuk di dalam. Tentu saja ia kemudian memperoleh pelatihan sebagai bartender. Rupanya, ia tipe pria yang mampu belajar cepat dan disukai para tamu.

Seiring dengan posisi barunya, penghasilan Ismail melonjak. Selain gaji bulanan yang jauh lebih tinggi dari petugas parkir, juga pemasukan lain-lain seperti tips dan uang terima kasih lainnya. Dari semua itu, jika ditotal rata-rata Ismail dapat membawa pulang Rp 4 juta setiap bulannya. Tapi di sinilah awal masalah dimulai.

Kehidupan keluarga yang tadinya harmonis mulai terganggu, meskipun tidak hancur bubar. Berbagai godaan menantang di depan mata. Alhasil, penghasilannya yang menurut level ekonomi keluarganya sudah tinggi itu, malah hilang tak berbekas. Ismail telah tenggelam dalam nikmatnya kesenangan dunia malam. Ya uang, ya kesenangan. Hingga suatu masa, diam-diam jiwanya merasa tidak bahagia dan menderita.

Saya mulai berfikir untuk apa saya bekerja. Saya pulang menjelang pagi dan tidak pernah tahu kapan anak saya berangkat sekolah. Dan suatu ketika, saat saya sedang siap-siap berangkat bekerja di sore itu, anak saya sedang belajar mengaji. Hati saya hancur..!", kenangnya.

Singkat kata Ismail memutuskan berhenti sebagai "Pekerja Tetap". Tepatnya di tahun 2003.
"Saya merasa terlalu lama untuk bisa sadar. Banyak uang setan yang selama ini saya terima dari tempat kerja itu. Tidak berkah. Hasil kerja saya tidak menghasilkan apa-apa buat keluarga saya", ia menarik napas dan terdiam sesaat.

"Tapi saya menikmati pekerjaan saya bawa taksi ini Pak. Meskipun tidak tetap tapi saya menyukainya," lanjutnya.

Ismail kini memang bekerja sebagai sopir taksi berlabel Mitra18. Baru satu setengah bulan saja dia mulai pekerjaan itu sejak 31 Maret 2007.

"Lalu setelah keluar dari pekerjaan di tahun 2003 itu kerja apa Pak?" Ia membuka warung mie ayam dan minuman es kelapa.

Dari situlah kehidupan keluarga Ismail terus berjalan. "Meski tidak sebesar yang saya peroleh dulu, dari usaha ini saya bisa membayar cicilan kontrakan dan lain-lainnya," ujarnya sumringah. Warung mie ayamnya sudah bisa ditangani sendiri oleh istrinya. Maka, menjadi sopir taksi itu adalah salah satu kegiatan baru yang ia lakoni.

Setelah empat tahun usaha mie ayam yang dikerjakan bersama istrinya itu, Ismail berpikir untuk mengembangkan usahanya di tempat baru. Tapi masih terbentur modal yang masih belum cukup. Tapi dia yakin usahanya ini tetap akan berjalan dan terus ia tekuni.
Baca lagi...

Anda Bekerja di Mana?

Pertanyaan "klasik" yang selalu mampir. Setiap ketemu teman lama, kerabat atau saudara saat lebaran atau berlibur sering muncul pertanyaan sama:"Kamu sekarang di mana?" atau "Kantor kamu di mana sih?"

Pekan lalu saya diundang makan siang seorang kawan lama. Ia manager sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini. Usai makan siang, silaturahmi dilanjutkan ke ruang kerjanya di lt 7. Sambil memelototi lap top di mejanya (maksudnya bekerja) sang kawan masih asik ngobrol sambil bercanda. Sementara saya duduk di hadapannya.

Kira-kira habis setengah gelas kopi cream, seorang pria muda meilintas di depan ruang kerjanya. Kontan kawan saya ini beranjak berdiri. Rupanya dia adalah atasannya. Masih muda. Jabatannya cukup tinggi, Vice President, alias senior manager. Konon, ia lulusan MIT. Kampus teknologi terkemuka di dunia yang terletak di Boston, Massachuset, Amerika. Penampilan begitu hangat dan ramah. Cenderung rendah hati.

"Pak kenalin ini, kawan saya".

"Oh ya...", sang VP ini menyorongkan jabat tangannya.

"Sekarang di mana Pak?", tanyanya kemudian.

"Hmm.. di mana ya.. ?" saya balik bertanya karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Sementara kawan saya ini hanya ketawa saja.

"I could be anywhere..." , segera kutemukan jawaban sekenanya.

"Beliau ini seorang penulis Pak", kawan saya itu menjelaskan.

"Wah.... itu profesi yang hebat. Profesi unggulan setelah pengacara", mimiknya begitu sumringah.

"Sudah baca 'Four Hour Workweek'?" ia melanjutkan seambil menjelaskan kalo dia begitu terinspirasi dari buku yang dia sebutkan itu. ia juga mengatakan ingin sekali seperti apa yang diuraikan dalam buku tersebut.

"Belum. Tapi saya sudah melakukannya selama ini", aku jawab demikian.

"Maaf nanti kita ngobrol lagi. Saya harus meeting", sang VP itu menggeloyor.

Dus, soal pertanyaan "Kamu kerja di mana ?" merupakan realitas. Tetapi yakinlah, di abad persaingan talenta saat ini, pertanyaan di atas sudah usang. Dan itu wajar-wajar saja dalam iklim masyarakat serba struktural yang telah terbangun kuat sejak jaman kolonial yang melahirkan "struktur masyarakat priayi" dan "kawulo alit".

Dan, semuanya memang mesti diawali dari pertanyaan. Mengapa mesti bertanya? Karena pertanyaan dapat mencerminkan sebuah visi, kepribadian, mindset, serta eksistensi sesoranng. Tegasnya, pertanyaannya Anda mencerminkan 'siapa anda' yang sebenarnya.

Nah, dalam perkenalan perdana Partai PKB ini, saya juga ingin memulai dengan pertanyaan: "Siapakah Anda?"

"Apa kemampuan Anda?"

"Sudahkah Anda sadari apakah sesungguhnya kemampuan Anda?"

"Apa arti bekerja menurut Anda?" Saya yakin Anda semua mampu menjawab pertanyaan itu.

Kalaupun saat ini belum, berusahalah menemukan jawaban di kemudian hari.
Baca lagi...